TANJUNGPANDAN, DISKOMINFO – Sahar dan rekannya merasakan pelaksanaan maras taun saat ini dibandingkan dimasa kecilnya dulu. Sekarang tidak ada lagi beregong dan permainan lesong panjang. Ukuran yang menunjukkan kemeriahan maras taun dua puluh tahun silam lesong panjang biasanya ditampilkan.
Kemeriahan maras taun dengan penampilan beragam seni rakyat seperti yang dikisahkan Sahar, sudah jarang ditemui sekarang ini. Besok (8/4), maras taun akan digelar di kampong Simpang Rusak. Itupun tidak menampilkan seni tradisi beripat beregong padahal menurut Sahar dulu beregong dan permainan lesong panjang menjadi ukuran kemeriahan pesta rakyat. Menurut warga Aik Batu, maras taun kampong Simpang Rusak besok justru disisipkan acara jalan santai.
Bertempat di rumah kediaman dukun kampong Aik Batu, desa Lassar, Safar dan warga Aik Batu lainnya hadir mengikuti prosesi perayaan maras taun. Safar, ayah dua anak ini mengisahkan pengalamannya sebagai peladang. “Paling mampu, luas ume aku 6 surik. Itong ajak kalo sesurik 14 depak” ujar Sahar saat ditanya luasan ladang garapan. Surik merupakan pengetahuan lokal tentang ukuran. Selain ukuran luas, penduduk lokal mengenal gantang sebagai ukuran volume, Ilo untuk ukuran kubikasi atau chi untuk ukuran beras emas.
Seiring zaman, banyak pengetahuan yang mulai dilupakan. Meski demikian masih ada yang berupaya melestarikan tradisi budaya lokal di bidang pertanian tersebut. Di kampong Mempiu masih ada yang menanam padi ladang varietas lokal seperti padi mat, padi buntar dan padi teritik. Menurut Farie, pegawai desa, menyebutkan selain melestarikan padi lokal, di kampong Mempiu masih ada menyimpan sistem penanggalan lama dimana nama-nama bulan menggunakan istilah melayu Belitong “Malah saya sempat menyimpan penanggalan itu. Sekarang entah kemana. Waktu itu beliau juga sempat menjelaskan filosofis dari nama-nama bulan yang belau sebutkan“ ujar Farie.
Tidak seperti benih padi sawah yang harus disemai sebelum ditanam, padi ladang atau padi darat ini ditanam dengan cara ditugal, dimana batang kayu dihunjamkan ke tanah dan membentuk lobang. Benih padi lantas dimasuki kedalam lobang.
Biasanya sebelum nugal, didahului oleh selamat bene yang dipimpin dukun kampong. Begitupun setelah padi diketam, seluruh warga kampung berdatangan untuk menumbuk padi yang dimasukkan kedalam lesung. Suasana lebih meriah dari selamat bene, keramaian ini diistilahkan dengan sebutan kundangan nutok.
Meski pentas rakyat sudah jarang ditampilkan namun Sahar mengaku dari sisi ritual tidak berubah banyak. “Lain, ade beda e tapi nok utame gik ade macam muang pedupaan ke utan. Keliatan, acara e jam duak“ kata warga lain menimpali ucapan. Yang ia sebut ‘muang ke utan’ tak lain pendupaan yang berisi rokok daun yang berisi tembako sebagai penanda ikatan dengan mahluk gaib yang diyakni memiliki keterkaitan dengan kehidupan masyarakat khususnya kegiatan yang terkait dengan dunia pertanian atau aktivitas yang terkait dengan hubungan antara manusia dengan alam.
Prosesi maras taun ini juga dihadiri oleh Gubernur Kepulauan Bangka Belitung H. Rustam Efendi, SE dan Bupati Belitung H. Sahani Saleh S.Sos beserta jajarannya yang dilaksanakan di rumah kediaman dukun kampong Aik Batu. Saling berbagi informasi dan tanyak jawab antara warga dan Gubernur dan Bupati seperti di kediaman dukun kampong ternyata juga menjadi ciri dari prosesi maras taun. “Kelakar-kelakar macam itu juak la ade dari duluk. Dukun nanyak ape nok jadi aral di kampong, ape nok la tejadi bang kampong” jelas warga yang lain.
Ini membuktikan, dukun kampong dalam terminologi masyarakat melayu Belitong menjelaskan kedudukan dukun kampong sebagai pemimpin yang wajib mendengar keluh kesah warganya. Kalau gangguannya berasal dari makhluk halus maka penyelesaian dilakukan dengan pendekatan metafisik, tetapi jika persoalan yang dihadapi bersumber dari kehidupan sesama manusia maka diselesaikan dengan pendekatan sosial.
Hal ini tercermin dari karong sumpit yang diletakkan di depan pintu dan lepat yang disajikan. Kaum Ibu-ibu rumah tangga membawa lepat sesuai jumlah anggota keluarga untuk diserahkan kepada dukung kampong. Begitupun dengan karong sumpit, diletakkan depan pintu agar warga datang memberi pekeras berupa uang. Baik sumbangan uang maupun lepat digunakan agar perayaan maras taun tidak membebani dukun kampong.
Beragam makanan yang disajikan atau pentas hiburan yang ditampilkan beroleh dari hasil sumbangan warga sebagai simbol kebersamaan sekaligus simbol kekuatan warga dalam mengatasi persoalan sosial ekonomi.
“Karong sumpit itu idang ngumpulkan pekeras urang. Sikit banyak ukan soal nok penting ade pekeras nok demasokkan ke karong sumpit” kata warga yang duduk di luar laman rumah dukun kampong. Tiga hari setelah maras taun, dukun kampong melarang warga untuk nanam, netak atau pekerjaan yang biasa dilakukan. Karong sumpit di depan pintu mulai terisi banyak pekeras seiring kedatangan yang berkumpul.
Karong sumpit menanti pekeras mencerminkan kerinduan kita terhadap kebersamaan, saling bekerjasama dalam menyelesaikan persoalan sosial ekonomi. Pekeras tidak dilihat dari jumlah tetapi dari nilai-nilai sosial yang makin dirindukan di zaman sekarang ini. Sayangnya kita sering salah menafsirkan fenomena kehidupan. (fithrorozi)