M.I.C.E dan Wisata Udara Bukit Peramun

TANJUNGPANDAN, DISKOMINFO – Ketika alam tak cukup memenuhi hasrat kesejahteraan manusia, maka Tuhan memberikan kita otak untuk berpikir. Kreativitas berpikir ini tampak sedang terjadi di sektor pariwisata. Awalnya berbicara wisatawan menggiring orang berpikir akan datang sejumlah turis membawa budaya baru. Hingga perlu hotel dan makan Eropa yang siap disaji.

Cateris paribus, jika sejumlah asumsi dinyatakan tetap maka formulasi akan menjelma menjadi produktivitas. Asumsi awalnya tambang sudah menipis hingga diperlukan pemikiran untuk menggali sektor baru yakni jasa. Mesin dari sektor jasa adalah kreativitas dan ilmu pengetahuan. Tiga sektor jasa (tersier) yang menunjukkan geliatnya adalah perhotelan, restoran dan  perdagangan. Indikatornya bisa dilihat dari output yang dihasilkan sutau daerah yakni Product Domestik Regional Bruto (PDRB).

Dua sektor jasa (perhotelan dan restoran) menggambarkan geliat pariwisata sedangkan perdagangan menggambarkan tingkat konsumsi masyarakat yang menjadi penopang struktur permintaan di Kabupaten Belitung. Lebih lanjut konsumsi ini akan memberi gambaran terhadap harga (inflasi).

Lalu bagaimana pariwisata berkembang. Saya tertarik dengan beberapa foto yang di-posting akun medsos Iswandi, Ketua LWG DMO Kabupaten Belitung yang menampilkan foto ia dan rekan penggiat wisata berbasis masyarakat sedang menghadiri pertemuan terkait dengan konsep pengembangan pariwisata MICE (Meeting, Insentif, Confrence & Exibition), dari beberapa sumber yang diterima BuletinBelitong, menyebutkan bahwa Belitung sedang dilirik menjadi tempat penyelenggaraan pertemuan skala besar seperti konferensi.

Sederhananya konsep MICE akan mendorong orang untuk datang ke Belitung untuk tujuan menggelar rapat, pertemuan seperti yang dilakukan Arsip Nasional Republik Indonesia dua hari lamanya (27-28 April 2017), sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) kearsipan datang ke Belitung menghadiri Rapat Koordinasi Pengelolaan Arsip Aset Nasional Wiayah Jawa dan Sumatera diadakan di Hotel Grand Hatika. Dengan jumlah peserta yang besar, membuat sebagian peserta mencari penginapan lain. Bisa dibayangkan berapa orang yang datang jika peserta berasal dari wilayah Sumatera dan Jawa.

“luar biasa utk Kementerian Pariwisata RI… Dispar Belitung… Dispar Prop./Babel beserta stakeholder pariwisata berbasis masyarakat Babel”, demikian Iswandi mengapreasi terselenggaranya pertemuan bertajuk Asistensi MICE Belitung.

Dengan berdirinya banyak hotel di Belitung, peluang pengembangan pariwisata berkonsep MICE sungguh menjanjikan. Ini dibuktikan dengan banyaknya kegiatan-kegiatan berbasis konferensi (pertemuan) yang digelar dalam sepekan terakhir diantaranya dari Kementerian Kesehatan, Kementerian pariwisata, ANRI, tidak termasuk dari perusahaan-perusahaan swasta.

Pertanyaanya jika konferensi di gelar di ruang tertutup semacam ballroom, akankah Iswandi dan pengelola objek wisata berbasis masyarakat kebagian ‘kue besar’ ini?. Jawabnya, sangat tergantung pada cara membaca peluang.

Biasanya pertemuan di ruang tertutup dengan peserta yang besar, tidak menutup kemungkinan akan membosankan lalu mengantuk. Narasumber pun paham situasi. Namun narasumber kreatif memecah suasana dengan trik menciptakan ice breaking. Tujuannya tak lain membangkit syaraf otak untuk berpikir dan mengolah informasi yang disampaikan narasumber. Benar saja, dengan senam otak peserta mulai tampak segar dan narasumber merasa langkahnya efektif. Presentasi pun dilanjutkan.

Dari sini, peluang bagi komunitas berbasis masyarakat mulai terkuak. Umumnya diskusi akan mengalir pada ruang terbuka. Alasannya, ketika manusia berada di luar ruangan, udara disekitaranya akan mensuplai molekul udara masuk ke otak, dengan begitu informasi yang diterima tidak membosankan apalagi membuat orang tertidur dialam terbuka.

Suplai oksigen ke otak ini juga membuat banyak pasien menggantungkan diri dengan oksigen di kamar perawatan, dari sumber yang dihimpun BuletinBelitong, harga mesin penghasil oksigen murni ini bisa mencapai Rp2,9 milyar. Kualitas molekul udara yang dihasilkan ini berbeda dengan mesin yang mengandalkan kompresi udara. “Katakan jika oksigen murni dihasilkan 70 persen, mesin yang mengandalkan kompresi akan kesulitan mensuplai oksigen untuk memenuhi kebutuhan banyak kamar perawatan. Tekanan yang rendah, membuat suplai oksigen berkurang” katanya.

“ Ya kalau 70%, bagaiman kalau tidak berfungsi baik, praktis pasien akan menerima lebih banyak angin daripada oksigen. Hal ini banyak yang tidak diketahui pengguna jasa kesehatan“ tambahnya. Penasaran, dari mana sesungguhnya bahan baku untuk menghasilkan oksigen murni. Ternyata diambil dari ruang terbuka yang sudah lama diberikan oleh Sang Pencipta kepada manusia.

Sesungguhnya manusia cukup menjaga alam agar tidak terkontaminasi. Pohon yang rindang akan menghasilkan udara segar alami. Disinilah peran komunitas pencinta lingkungan untuk meningkatkan kerja otak lebih optimal.

Peluang sedikit terbuka, karena banyak pengelola Hutan Kemasyarakatan (HKM) yang menyadari pentingnya pepohonan untuk menghasilkan udara segar seperti yang dirasakan ketika kita berkunjung ke Bukit Peramun ataupun objek wisata alam Batu Mentas. Jadi, akankah kita yang berada diluar Ballroom Hotel kehilangan kesempatan menikmati ‘kue besar’ dari bisnis convention.

Tentu saja tidak, karena banyak desa-desa wisata mulai muncul selain komunitas pengelola HKM yang menawarkan jasa lingkungan yakni udara segar untuk dinikmati peserta konfensi. Ketika kita, kita mulai sadar, sungguh Allah Maha Pengasih yang telah mewariskan kasih sayangnya berupa pepohonan yang rindang dan udara yang bisa kita dapatkan tanpa takut dengan lonjakan inflasi.

Dulu, masih berdiri Electrische Centaral (E.C.) di Bukit Samak Manggar yang tidak hanya menghasilkan energi tetapi tabung-tabung oksigen untuk mensuplai kebutuhan rumah sakit PN.Timah. Ketika mesin pemurnian oksigen yang dididapat dari udara terbuka sudah diberangus. Mau tidak mau rumah sakit membutuhkan mesin pemurnian udara setidaknya untuk pasien di ruang perawatan. Milyaran memang, tetapi ini jauh lebih baik daripada mesin pemurnian udara malah membuat pasien kemasukan angin.

Saya berandai-andai jika ballroom tak kuat menampung peserta konferensi, akankah mereka bertemu di Bukit Peramun. “Pak disini udara lebih segar, tidak tidak ngantuk”. Bisa jadi pemandu wisata akan menawarkan jasa lingkungan seperti itu. (fithrorozi)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *