SIJUK, DISKOMINFO – Wapres Jusuf Kalla berkisah saat menjadi pengusaha. Ia menyesali investasi menghadapi era telekomunikasi. Ia tak memperhitungkan jasa telekomunikasi ternyata berubah basis dari kabel ke nirkabel. Sementara kabel terlanjur sudah diinvestasikan. Tak hanya Yusuf Kalla, Hari Darmawan dan pemilik Hypermart pun mulai ketar-ketar menghadapi Revolusi 4.0, pertumbuhan outlet tidak menjamin penyerapan pasar ketika perilaku konsumen mulai bergeser menggunakan platform digital.

Menpar Arief Yahya menyebut Bukalapak dan Go-Jek masuk dalam peta bisnis digital. Dengan omset 10 bilion US Dollar. Dan kedua perusahaan itu ternyata dirintis oleh anak-anak muda yang usianya jauh dibawah Yusuf Kalla dan Hari Dharmawan. Maka usai Menpar menyoroti benchmark bisnis era digital ini, Prof.Suhonoharso Supangkat, Ketua Asosiasi Prakarsa Indonesia yang juga Guru Besar STEI ITB menekankan pentingnya mempelajari perilaku manusia di era digital saat ini.

“Yang penting itu adalah humanity. Saya melihat (perkembangan bisnis) dari quality of life”, kata Suhono dalam Seminar Nasional Geopark yang berlangsung di Swissbell-Resort Tanjung Binga (29/1/2019). Penekanan profesor mengarah pada fenomena penyatuan hubungan manusia dengan mesin yang ia amati dari revolusi teknologi generasi pertama hingga generasi kelima sekarang ini. Ia membandingkan dengan cara Jepang beradaptasi dengan teknologi. Jepang mempertimbangkan human sentris, muaranya pada kualitas manusia bukan banyaknya aplikasi. Dari sini muncul istilah Society 5.0.

Disruptive antara masyarakat-proses-teknologi-data perlu melihat perilaku manusia. Yang terpenting adalah bagaimana keterkaitan manusia dan mesin bisa berdampak bagi kehidupan manusia, bagaimana teknologi merubah nilai dari basic value menjadi smart value .

Sosok penting dalam mewujudkan konsep Smart City di Indonesia itupun, mencermati model perencanaan kota berbasis digital. Ia mengingatkan, sama halnya dengan ekonomi mikro, konsep pembangunan berbasis digital juga harus mempertimbangkan perilaku masyarakat sehingga perlu memetakan bagaiman kedudukan atau pengaruh industri digital terhadap gaya hidup (lifestyle).

“Semoga saja Belitung tidak seperti Batam (yang menyerahkan tata kelola terpusat pada badan otorita). Bagi saya, persoalannya tidak sekedar integrasi teknologi”, kata Profesor seraya menyebutkan contoh kasus kota Bandung yang mengadopsi teknologi tetapi tidak berpengaruh signifikan terhadap perilaku hidup masyarakatnya, terutama dalam penanganan masalah sampah yang sering menjadi momok pembangunan kota-kota besar.

“Solusi konvensional tidak mampu mengatasi permasalahan kota yang kian kompleks maka perlu smart solution”, paparnya. Prof Suhono mengingatkan pentingnya pemahaman sebelum berinfak. Menurutnya, ini harus didahului oleh pemahaman terhadap masalah, lalu didiagnosa akar permasalahan yang nantinya akan memprediksi hal baru barulah kemudian merubah persepsi masyarakat.

Guru besar Manajemen UI, Reynald Kasali juga senada dalam menyoroti integrasi teknologi seperti dimuat di Kompas Online Mei 2017 silam. Adanya anggapan yang kurang pas dalam memahami disruption. “Sebab disruption itu sejatinya mengubah bukan hanya cara berbisnis, melainkan juga fundamental bisnisnya. Mulai dari struktur biaya sampai ke budaya, dan bahkan ideologi industri”, katanya.

Sumber: Fiet/IKP

1 thought on “Society 5.0”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *