TANJUNGPANDAN, DISKOMINFO – Pernah suatu kali saya berbincang dengan penguasa MU yang kesal dengan Presiden SBY yang tidak melambaikan tangan ke mereka padahal mereka paling dekat dengan Bank Sentral. Dengan pengusaha MU itupun saya cepat akrab.
Oh, anda jangan terlalu serius mendengar kata penguasa ataupun presiden. Bagi saya dua istilah itu sama dengan Raja Berekor. Raja yang dikenal lalim dalam imaji masyarakat Belitong.
Baik, saya jelaskan MU itu tak lain dari Malioboro United-titik nol kilometer-kota Yogyakarta. “Meski malam hari, tapi yang menguasai kita-kita ini mas“ kata Siswo yang saya sebut penguasa MU. Bersama para waria Siswo menjajakan asongannya. “Saya ini beda huruf akhir dan awal saja dengan kaum intelektual. Kalau ada kata ‘maha’ diawal dan o diganti a, saya akan jadi mahasiswa juga, benar kan mas” tanya Siswo sedikit menuntut status.
Malam ini, bukan hanya Siswo si pedagang asongan yang menuntut, waria yang menjajakan suaranya juga pasti menuntut diakui karena mereka sudah bersolek sejak sore. Persis seperti juru kampanye bersiap mempromosikan jagoannya. Gincu mereka bisa agama, bisa kekayaan, harkat ataupun martabat. Lalu ketika gincu luntur, orang akan bertanya apa jenis kelaminnya.
“Awaar !. Nok itu mikak tanyak” begitu tutur dari orang yang mengulas sosok waria di kampung kami. Tapi ini Yogya bukan Belitong mereka biasanya lebih elok mementaskan situasi politik ‘Raja Berekor’ dengan ekor panji-panjinya yang panjang.
Cerita Siswo saya bukukan dalam kisah ‘Meruang Masa’ pada 2013 silam. Buku ini banyak berkisah soal tipe pemimpin dan pentas kekuasaan yang ditampilkan Marwoto. Ketika itu Marwoto bersama anggota Ketoprak Tjap Tjonthong menampilkan lakon berjudul ‘Sopo Ngedan Keduman’. Tata lampu, tata suara di Concert Hall Taman Budaya membungkam keawaman saya menyimak dialog Jawa. Saya pun tertawa bersama penonton di barisan festival dengan membayar tiket Rp20.000. Tak kalah riuh dengan kursi VIP yang membayar tiket masuk Rp60.000. Orang Jawa nampaknya bisa mengapresiasi karya seniman mereka sehingga kursi VIP full book.
Empat tahun kemudian, gelaran pentas seni di Concert Hall Komplek Taman Budaya, tepatnya pada Sabtu 13 Mei 2017 akan ditampilkan pertunjukan budaya tapi bukan dari Ketoprak Tjap Tjonthong melainkan dari kampung saya sendiri. Yang tak berbeda adalah tema. Buku Meruang Masa mengulas tipe pemimpin, Marwoto memunculkan drama satire kepemimpinan ‘Sopo Ngedan Keduman’ dan yang teranyar, dari Ikatan Keluarga Pelajar Belitung (IKPB) cabang Yogyakarta, mereka juga mengangkat kisah kepemimpinan bertema ‘Budaya Belitong Sebagai Refleksi Diri Dalam Menghindari Arogansi Kepemimpinan’.
Saya berharap tidak ada pertanyaan jenis kelamin dalam dialog politik kepemimpinan karena pasti akan dijawab: Awaar !. Nok itu mikak tanyak. Maka lebih jelas lihat promo anak-anak mahasiswa IKPB Yogyakarta.
Lewat medsos promo pertunjukan drama kolosal ini akan tampil ditempat kerajaan seniman besar Yogyakarta, Concert Hall Komplek Taman Budaya membawakan Drama Kolosal Raje Berekor. Drama kolosoal ini tentunya digarap serius karena ada dosen seni juga terlibat Iqbal. Selain itu mereka punya pengalaman mementaskan drama kolosal Yin Galema yang diangkat dari novel karangan novelis Belitong, Ian Sanchin.
Menurut Ketua Pelaksana Gebyar IKPB Yogyakarta 2017, Ferian Rebieyansyah dalam release-nya mengatakan, pentas seni budaya ini digelar guna memperingati Dies Natalis IKPB ke-62 tahun sekaligus mempromosikan pesona Pulau Belitung di Yogyakarta. Untuk tahun ini konsep acara yang yang dikelar IKPB adalah pertunjukan Drama Kolosal Raje Berekor.
Akan seperti apa penampilan mereka nanti. Secara tersirat Mansyur Mas’ud, seniman Belitong yang malang melintas di dunia seni rupa memastikan penampilan anak-anak yang penuh semangat ini akan berbeda dengan pentas penuh gincu di catwalk ‘Pemilihan Bujang Dayang Belitong’. Wah jadi penasaran, apalagi Mansyur mengkomparasikan dua pentas itu dengan tulisan yang tak biasanya, panjang dan menusuk. Masih penasaran?. Lihat saja promo mereka. (fithrorozi)